Oleh: Dr. KRMT Roy Suryo, M.Kes-Pemerhati Telematika, Multimedia, AI & OCB Independen

Bukan IKN (Ibu Kota Negara) Nusantara namanya kalau tidak bikin ambyar. Sejak awal mendadak dicetuskan sampai sekarang, tak henti-hentinya membuat kontroversi di berbagai sisi.

Dimulai ketika ada seorang Presiden, tanpa diketahui Wapresnya saat itu, tiba-tiba seperti kerasukan setan memunculkan ide ibukota baru, tanpa ada hujan, tanpa ada angin, seperti petir di siang hari bolong.

Padahal Jakarta sebagai ibukota saat ini, yang InsyaAllah tidak jadi pindah, makin cantik dan kolaboratif di usianya yang hampir 498 tahun (semenjak 22 Juni 1527).

Bagaimana tidak, ide apalagi konsep ibukota negara baru yang sebenarnya tidak pernah ada kajian ilmiah sebelumnya, mendadak diumumkan dalam konferensi pers tanggal 26 Agustus 2019. Celakanya, ide absurd ini, seperti biasa, diamini oleh para penjilatnya.

Beramai-ramai mereka cari muka dengan berbagai bentuknya, termasuk adanya koor “setujuuu …” yang sangat wagu di gedung wakil rakyat. Ironisnya, saat pengesahan RUU IKN di DPR hanya dihadiri oleh 77 orang secara fisik, alias hanya 13 persen dari jumlah keseluruhan 575 anggota (meski katanya 190 virtual dan 38 izin, sehingga jumlahnya 305).

Dengan biaya awal Rp 486 triliun, yang mana 19 persennya atau sekitar Rp 89 triliun berasal dari APBN, kabarnya kini pun sudah membengkak sekitar 20 persennya. Sempat mengusung konsep “Nagara Rimba Nusa” sebagai pemenang sayembara desain IKN (yang sia-sia saja karena tidak dipakai), kini ikonnya adalah “Garuda Gelap” yang lebih mirip kelelawar bak rumah hantu milik Voldemort dalam serial Harry Potter.

Mau dibilang Garuda, kok tanpa jambul. Sayapnya juga hanya 4 (tidak 17) sebagaimana Lambang Negara Garuda Pancasila sesuai UU Nomor 24/2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.

Bahkan baru-baru ini trending di sosial media tulisan di totem (tiang utama) titik nol-nya yang disebut netizen +62 sebagai “Bahasa Alien”, terwelu. Kalimat “Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua”, sebuah teks yang sering digunakan dalam desain grafis dan percetakan sebagai placeholder untuk menampilkan/template tampilan teks dummy dalam layout selanjutnya, alias masih dalam konsep. Jelas masyarakat geram, kalau masih dummy, mengapa harus sudah dicetak dan ditampilkan di Totem Nol KM IKN?

Dalam bahasa Latin, kalimat ini tidak memiliki makna yang lengkap, karena “Lorem Ipsum” sebenarnya adalah potongan dari teks Cicero yang disusun secara tidak teratur. Secara umum, bagian terjemahan bisa diartikan sebagai “Lorem ipsum dolor sit amet” = “Kesedihan itu ada, tetapi”, “consectetur adipiscing elit” = “telah dikumpulkan oleh orang-orang terpelajar”, “sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua” = “tetapi memiliki kualitas luar biasa yang bermanfaat”.

Sejarah penggunaan “Lorem Ipsum” sebagai teks dummy pegangan dalam percetakan dan desain grafis ini dimulai pada abad ke-15, dimana seorang tukang cetak di Eropa menggunakan potongan dari karya Cicero sebagai sampel untuk menunjukkan font dan layout. Teks ini diambil dari makalah aslinya yang berjudul “De Finibus Bonorum et Malorum” (45 tahun SM). Pertanyaannya adalah, apa hubungannya dengan IKN selain kerja sembrono alias ngawur dan buang-buang snggaran? Ambyar.

Selain “bahasa alien” di atas, sekali lagi kalau kita lihat film animasi AI sepanjang 2 menit 53 detik yang sangat cerdas dan dibuat oleh akun TikTok @matt_kampoeng yang bisa dilihat pada link www.tiktok.com/@matt_kampoeng/video/7494203734008859910 dengan tokoh utama AI Junius Wedus (sosok pengadu domba yang lahir di bulan Juni) dari desa Solamus dan selalu menggunakan jurus Blusukus dan Bansonus Tunaus.

Selain menyewa preman gunung Olympus, kuasa hukumnya mau menggunakan Pasal 404 “Ijazah Not Found”. Istilah “404 Ijazah Not Found” ini mengingatkan kita juga pada mural yang sempat viral dilukis di kawasan Cengkareng beberapa tahun lalu, di mana saat itu dilukis mirip dengan sosok bermasalah tersebut. Mengambil terminologi komputer yang sering digunakan untuk menggambarkan pesan kesalahan yang diberikan oleh server web saat halaman atau URL yang diminta tidak dapat ditemukan, dalam hal itu adalah ijazah asli UGM.

Jadi kemunculan bahasa alien “Lorem Ipsum” di totem Nol KM IKN akibat sikap sembrono namun merugikan masyarakat akibat uang pajaknya dihambur-hamburkan di IKN, mirip “Kelelawar Hitam” yang mungkin maksudnya “Simbol Burung Garuda” karya (gagal total) Nyoman Nuarta berharga trilyunan rupiah itu. Setali tiga uang “404-JkW-Not Found” menunjukkan hilangnya kejujuran dan moralitas akibat ijazah yang (sengaja) tidak (mau) ditemukan.

Kesimpulannya, dua kejadian di atas sebenarnya tidak terjadi begitu saja, bisa jadi ini sudah seperti Sunatullah alias hukum alam atau cara kerja alam semesta yang ditetapkan oleh Allah SWT, semua tampak “automatically unstopable” alias berjalan dengan sendirinya tanpa bisa dihentikan lagi. Kalau dalam bahasa Jawa bisa juga kondisi sekarang ini disebut “wis wayah-e” atau sudah tiba pada waktunya. Waktunya apa? Tentu saja #AdiliJokowi sebagai pihak yang paling bertanggung jawab soal IKN dan #AdiliFufufafa sebagaimana poin 8 “Pernyataan Sikap Purnawirawan Prajurit TNI” kemarin.

 

Opini
Editor